Senin, 19 Oktober 2015

Sop Buah Pak Ewok Bogor





Sop buah pak Ewok adalah salah satu menu wisata kuliner di kota Bogor. Terletak tak jauh dari Taman Kencana (naik angkot 03 dari stasiun KA, atau angkot 08A dari Tugu Kujang), kedai Pak Ewok berada di kompleks perumahan yang teduh dan rimbun, serta menempati bangunan bernuansa etnis dengan nuansa kayu, bambu, dan atap daun kirai.  Siap-siap antri terutama pada akhir pekan.

Kala pertama mencicipi sop buah pak Ewok, komentar saya adalah: segar dan dinamis (campuran rasa asam buah dan manis susu), meski saya kurang suka kuahnya yang terlalu manis bagi lidah saya. Namun jika porsi susu dikurangi, sepertinya sop buah pak Ewok ini bisa menjadi favorit saya.
feature image

Sop buah pak Ewok terdiri atas potongan buah jambu biji, nangka, stroberi, anggur, melon, semangka, apel, pir, mangga, konyal (semacam markisa), hingga alpukat dan kelapa muda. Kuahnya bisa dipilih antara kuah susu, jeruk, yoghurt, atau durian (tergantung musim). Berhubung tidak suka manis, saya kini lebih memilih kuah jeruk karena ada padanan rasa asam manisnya.

Sop Buah

Sayangnya, makin kesini saya merasa porsi sop buah ini makin berkurang, termasuk variasi buah di dalamnya. Mungkin untuk menekan harga, entahlah. Selain sop buah, kedai Pak Ewok juga menyediakan beberapa menu lain seperti somay, batagor, mie ayam, mpek-mpek, you name it. Rasanya rata-rata-lah tapi suasana wiskulnya memang sungguh mendukung.  Tak heran sop buah pak Ewok tetap masuk dalam agenda wisata kuliner teman-teman saya di Bogor hingga kini. Berikut ini adalah daftar varian menu yang ada di saung pak ewok:
http://www.pakewok.com/wp-content/uploads/2015/04/Menu-Makan.jpg

Menu Minuman 
Sumber :
http://www.pakewok.com/

Kesultanan Deli



Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia). Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

SEJARAH

PENDIRIAN
Menurut Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.
Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Ibu kotanya berada di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang. Setelah itu, Kesultanan Deli sempat direbut Kesultanan Siak dan Aceh.

MASA KOLONIAL
Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya.
Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan, terutamanya tembakau, dan lain-lain. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.
Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat bernilai jual di dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan tembakau Deli berawal pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda, JF van Leuween, mengirimkan ekspedisi ke Tanah Deli yang kala itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys. Setiba di Deli, mereka menemukan lokasi yang masih perawan, Deli saat itu adalah dataran rendah berawa-rawa dan mayoritas ditutupi hutan-hutan primer.
Usaha awal ini gagal, JF van Leuween memutuskan mundur setelah membaca laporan tim perusahaan, tetapi Jacobus Neinhuys tidak putus asa. Setelah mendapat konsesi tanah dari Sultan Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam tembakau di Tanjung Spasi. Kali ini usahanya berasil, contoh daun tembakau hasil panen yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau bermutu tinggi. Sejak itulah, tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan berasal dari Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.
Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer, pada tahun 1870 telah berhasil mengekspor tembakau sedikitnya 207 kilogram. Pada tahun 1883 perusahaan ini mengekspor tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan ditaksir nilai kekayaan perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada tahun 1890. Puncaknya pada awal abad ke-20 ketika Deli Maatschappij tampil sebagai "raja tembakau Deli". Diperkirakan lebih 92 % impor tembakau cerutu Amerika Serikat berasal dari Kesultanan Deli.
Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan hubungan dengan pihak swasta yang yang menyewa tanah untuk dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas pemerintahan, pertanian, perkebunan, dan lainnya.

MASA PENDUDUKAN JEPANG
Pada tanggal 12 Maret 1942 mendarat pasukan "Imperial Guard" (pasukan penjaga kaisar yang sangat terlatih dan terpilih) di Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu pasukan KNIL dan Stadwacht Belanda berhasil melarikan diri menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas), tetapi di tengah jalan banyak orang-orang pribumi yang merampas pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung masing-masing. Karena sisa pasukan Belanda yang 3.000 orang itu tidak akan sanggup melawan pasukan Jepang sebanyak 30.000 orang yang terlatih dan berpengalaman perang, maka pada tanggal 29 Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang.
Sejak direbutnya Malaya, Singapura, dan Sumatera oleh Bala Tentara ke 25 Jepang, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Singapura. Sampai sekitar April 1943, kesatuan pemerintahan masih dipegang oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatera dan Malaya/Singapura terpisah. Di Sumatera, Jepang hampir-hampir tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap Residen disebut syu dan dibawah pengawasan seorang pejabat militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi Sumatera Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang, yaitu sekitar Binjai (Padang Brarang), Sungai Karang (Galang), Dolok Merangir, Kisaran, dan perkebunan Wingfoot.

SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis terhadap penguasa kesultanan-kesultanan Melayu. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem monarki dengan alasan antifeodalisme.
Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatera serta Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatera dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.
Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan republik, karena setelah Jepang masuk, Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan sultan yang mendukung kelompok pro-republik, seperti Amir Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah dari Kesultanan Serdang.
Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur agar sistem pemerintahan swapraja dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan secara kooperatif untuk membujuk beberapa bangsawan dan kubu radikal (yang didukung kaum komunis) yang menginginkan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.
Revolusi oleh kaum radikal akibat hasutan kaum komunis pecah pada Maret 1946. Berawal di Kesultanan Asahan, revolusi menjalar ke seluruh monarki Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Deli. Istana Sultan Deli (Istana Maimun) beserta Sultan dan para bangsawan berhasil terlindungi karena penjagaan TRI dan adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan.

SULTAN
 
Sultan Mahmud Lamanjiji (empat dari kiri), Sultan Deli XIV, saat menghadiri pembukaan Festival Melayu Agung tahun 2012 di Medan
Sultan Deli dipanggil dengan gelar Sri Paduka Tuanku Sultan. Jika mangkat, sang Sultan akan digantikan oleh putranya. Sultan Deli saat ini adalah Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam, Sultan Deli XIV, yang bertahta sejak tahun 2005.

SISTEM PEMERINTAHAN
 
Berlainan dengan Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatera Timur lainnya, pemerintahan Kesultanan Deli bersifat federasi yang longgar sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli "Raja Datang, Orang Besar Menanti". Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai Raja Pertama di Tanah Deli yang ditunjuk oleh Sultan Aceh sebagai wakilnya di Sumatera Timur atau Tanah Deli.
Pada masa pemerintahan Panglima Parunggit (Raja Deli II), Deli memproklamirkan kemerdekaannya dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669 mengikuti jejak-jejak negeri pesisir, dan berhubungan dagang dengan VOC di Melaka. Pada masa pemerintahan Panglima Paderap (Raja Deli III) terjadi perluasan wilayah di pesisir pantai hingga Serdang dan Denai.
Menurut laporan Jhon Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823, bahwa Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli VI) adalah penguasa Deli pertama yang bergelar "Sultan" setelah Deli ditaklukan Kesultanan Siak pada tahun 1814. Menurut laporan Jhon Anderson pula, Sultan Deli dalam memerintah dibantu oleh 8 orang menteri dimana Sultan berkonsultasi soal perang, mengatur pemerintahan sehari-hari, mengadili perkara pidana, dan lain-lain. Mereka itu ialah :


  • ·         Nahkoda Ngah bergelar Timbal-Timbalu


  • ·         Wak-Wak


  • ·         Salim


  • ·         Tok Manis


  • ·         Dolah


  • ·         Wakil


  • ·         Penghulu Kampong

Di samping menteri–menteri, masih ada lagi Syah Bandar (Hamad) yang mengurus hubungan perdagangan dan biasanya dibantu seorang mata-mata (seorang wanita yang pandai bernama Encek Laut) yang bertugas memungut cukai. Kemudian ada lagi para pamong praja, penghulu, para panglima, dan mata-mata yang melaksanakan tugas bila di kehendaki Sultan, serta kurir istana yang mengantar surat ke berbagai kerajaan. Jika Sultan mangkat, apabila penggantinya masih belia, maka Tuan Haji Cut atau Kadi (ulama tertinggi) bertindak dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan kerajaan. Di bidang agama Islam Tuan Haji Cut juga bertindak sebagai mufti kerajaan, kemudian di bawahnya ada bilal, imam, khalif, dan penghulu masjid. Merekalah yang menangani masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Kehidupan mereka diperoleh dari sumbangan masyarakat.
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Deli
 

Gotong Royong



Gotong royong merupakan istilah asli Indonesia yang berarti bersama-sama mengerjakan sesuatu atau membuat sesuatu untuk mencapai suatu hasil budaya gotong royong dilandasi oleh hal-hal berikut; manusia terikat dengan lingkungan sosialnya, pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial, manusia perlu menjaga hubungan baik dan selaras dengan sesamanya, manusia perlu menyesuaikan dirinya dengan anggota masyarakat.
Gotong-royong sebagai solidaritas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama mereka yang membentuk komunitas-komunitas, karena dalam komunitas seperti ini akan terlihat dengan jelas. Gotong-royong terjadi dalam beberapa aktivitas kehidupan, seperti gotong-royong dalam bentuk kerjabakti, dilakukan untuk kepentingan bersama; gotong-royong dalam bentuk tolong menolong pada saat melakukan pesta pernikahan, atau khitanan, beberapa hari sebelum pesta akan dilakukan terjadi sumbangan dari kenalan, tetangga ataupun kerabat datang membantu dalam bentuk bahan makanan, uang, ataupun tenaga,kemudian bantuan ini harus dikembalikan minimal dengan nilai yang sama.Bahkan gotong-royong dapat pula terjadi pada saat adanya musibah ataupun kematian salah seorang warga komunitas, hal ini tidak dapat disebut kepentingan bersama ataupun kepentingan peribadi tetapi rasa kemanusiaan yang muncul di antara warga, karena musibah datangnya tidak diperhitungkan ataupun diketahui, sehingga warga yang mendapat musibah tersebut memerlukan bantuan dari warga lainnya. Gotong-royong dapat terjadi di lahan pertanian uyang berada di wilayah pedesaan berupa curahan tenaga pada saat membuka lahan sampai mengerjakan lahan pertanian, dan diakhiri di saat panen, bantuan dari orang lain seperti ini harus dikembalikan sesuai dengan tenaga yang orang lain berikan, hal ini terus menerus terjadi yang akhirnya menjadi ciri masyarakat, terutama yang memiliki mata pencaharian agraris. Khusus bantuan di lahan pertanian dicontohkan pada petani lahan kering, terutama pada sistem huma, karena pada sistem pertanian huma sangat jelas sekali pola gotong-royong yang mereka lakukan yaitu azas timbal-balik.
Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Katanya berasal dari gotong = bekerja, royong = Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar Filsafat Indonesia seperti yang dikemukakan oleh M. Nasroen.
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini, Parson (1951 : 97 – 98) mengemukakan, “Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi dapat dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, seperti adanya musibah atau membantu warga lain yang dalam kesusahan. Tetapi tolong menolong seperti ini menjadi suatu kewajiban, untuk saling membalas terutama dalam hal pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian atau di saat salah satu warga melakukan perayaan. Begitu pula, apabila terdapat pekerjaan yang hasilnya untuk kepentingan bersama, maka diperlukan pengerahan tenaga dari setiap warga melalui kerjabakti.”
Kegiatan gotong-royong dilakukan warga komunitas, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan, yang penting mereka dalam kehidupannya senantiasa memerlukan orang lain. Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan, karena di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melakukan gotong-royong, sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah sehingga kegiatan gotong-royong diperlukan sebagai suatu solidaritas antar sesama dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan.
Gotong-royong dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya, maka Bintarto (1980 : 24) mengemukakan, Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah : Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya. Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Gotong-royong sebagai bentuk integrasi, banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibentuk kepanitiaan secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan setelah selesai bubar dengan sendirinya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan; memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong dapat dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan di dalam acara yang berhubungan dengan pesta yang dilakukan salah satu warga komunitas, ataupun bahu membahu dalam membuat dan menyediakan kebutuhan bersama.
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama.

Kegiatan kerjabakti sebagai gotong-royong dilakukan secara serentak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang hasilnya dimanfaatkan bersama. Kadangkala kerjabakti semacam ini menjadi pengertiannya menjadi tidak jelas dengan adanya kerjabakti secara sukarela dan secara paksaan, seperti yang di kemukakan Koentjaraningrat (dalam Sajogyo dan Sajogyo, 1992 : 38), Mengenai gotong-royong kerjabakti kita juga harus membedakan antara kerjasama untuk proyek-proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya warga para warga desa sendiri dan kerjasama untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas.

Sumber :
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian-gotong-royong.html