Senin, 02 Mei 2016

Studi Kasus Hak Kekayaan Intelektual : Kasus Merek "Holland Bakery"

Duduk perkaranya adalah sebagai berikut, DR. Drs. F.X. J. Kiatanto, didakwa melakukan pemalsuan merek dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa, yaitu Holland Bakery. PT. MCR adalah pemegang merek Holland Bakery yang terdapat gambar kincir angin, dan terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 260637 dan telah mendapat sertifikat merek pada tanggal 28 Juni 1990 untuk jenis barang/jasa kelas produk 30, yaitu makanan, roti dan kue-kue. Sedangkan DR. Drs. F.X. J. Kiatanto adalah pemilik merek Holland Bakery disertai gambar bunga tulip untuk usaha jasa café/rumah makannya di Yogyakarta. Merek tersebut juga telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 317559 dan telah mendapat sertifikat merek pada tanggal 21 November 1994 untuk kelas barang/jasa 43, yaitu jasa-jasa di bidang penyediaan makanan dan minuman, bar, kedai kopi (café), kafetaria, tempat makan yang menghidangkan kudapan (snack bar), warung kopi (coffee shop), jasa boga rumah makan (catering), jasa ruang bersantai untuk minum cocktail.
Mengetahui mereknya digunakan pihak lain, PT. MCR melaporkan Kiatanto ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta memutuskan dalam Putusan No. 26/Pid.B/2002/PN.YK bahwa terdakwa DR. Drs. FX Kiatanto terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melakukan pemalsuan merek dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa. Namun demikian Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena itu terdakwa, DR. Drs. FX Kiatanto dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 26/PID.B/2000/PN.YK diputuskan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi dinyatakan bukan sebagai tindak pidana sehingga dibebaskan dari tuntutan hukum. Pendapat hakim tersebut dapat dipahami secara formal, karena telah sesuai dengan rumusan delik dalam undang-undang. Akan tetapi hakim telah mengabaikan suatu landasan penting dalam dunia usaha, yaitu kejujuran dan ‘itikad baik’. Sebenarnya seluruh bukti-bukti sudah dapat memberikan gambaran adanya upaya peniruan tersebut, namun Majelis Hakim tetap mempertahankan kebenaran format. Dalam Pasal 10 bis Konvensi Paris dinyatakan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan honest practice in industrial and commercial matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Yurisprudensi terkenal yang mengedepankan unsur adanya ‘itikad buruk’ seharusnya juga dapat menjadi bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim, sebagaimana dalam perkara merek Tancho.
Selain pada kasus merek Tancho maupun pada merek Playboy, keduanya hanyalah sebagian kecil dari contoh-contoh kasus pembajakan merek. Para pendaftar (pembajak) merek tersebut jelas tidak memiliki itikad baik dalam mendaftarkan merek. Tujuan pendaftaran tersebut tidak lain adalah untuk mendompleng ketenaran merek yang sudah terkenal. Memang, perlindungan merek pada prinsipnya bersifat teritorial meski demikian bukan berarti bahwa tidak ada lagi perlindungan bagi pemilik merek yang sebenarnya. Keputusan Mahkamah Agung tersebut untuk memenangkan kasus Tancho adalah hal yang sangat tepat dan merupakan terobosan baru dalam perlindungan merek karena telah sesuai dengan Pasal 4 UU Merek , yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas dasar Permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
Tanggapan :
Saya berpendapat tentang kasus ini adalah betapa lemahnya dunia keadilan di lingkungan masyarakat Indonesia. Disini Pihak PT. Mustika Citra Rasa yang dirugikan, dikarenakan merek barang yang ia jual sama dengan merek DR. Drs. F.X. J. Kiatanto, walaupun produk yang mereka ( kedua belah pihak ) berbeda. PT. Mustika Citra Rasa memproduksi kue,dll sedangkan DR. Drs. F.X. J. Kiatanto memproduksi cafe. Tetapi namanya hukum ya tetap hukum. Hukum bilang apabila ada yang menjiplak merek perusahaan lain akan dikenakan sanksi. Namun hakim yang menangani masalah ini tidak memberikan sanksi, malah memberikan pembebasan kepada DR. Drs. F.X. J. Kiatanto. Majelis Hakim menyatakan bahwa ”Holland Bakery” yang dimiliki oleh DR. Drs. F.X. J. Kiatanto tersebut sudah berdasarkan rumusan yang sudah terdapat dalam Undang – undang. Walaupun produk yang dijual berbeda, namun nama / merek nya sama, sehingga harus ditindak lanjuti. Ini merupakan gambaran kecil terhadap hukum HKI yang terlalu lemah. Kita sebagai masyarakat harus lebih peduli terhadap keseriusan dan ketegasan undang – undang. Jangan dianggap remeh atau bahkan menganggap sanksi – sanksi yang telah dibuat itu terlalu gampang untuk dilanggar. Dari pihak pemerintah pun harus lebih tegas dan lebih aktif dalam kasus yang melanggar Hak Merek. Apabila ada yang melanggar, maka orang itu harus dihukum atau diberi sanksi. Jangan ada kelemahan dalam hukum – hukum yang terdapat dalam tubuh peradilan di negara Indonesia.
Karena dengan tidak demikian akan membuat masyarakat lain untuk berbuat nakal yaitu seringnya mereka menjiplak merek – merek punya orang lain tanpa batas dan mereka akan menganggap kualitas hukum di Indonesia adalah lemah.Sehingga Di Indonesia terlalu banyak merek dagang yang dijadikan suatu symbol yang salah bagi perusahan dan bagi masyarakat yang ingin memproduk suatu barang atau tempat atau lainnya. Mereka terlalu dibutakan dengan keuntungan yang sangat luar biasa tinggi. Untuk memperoleh keuntungan yang sangat luar biasa mereka tidak mau melihat kaedah – kaedah apa saja yang harus dipenuhi dalam memberikan nama pada merek dagangan mereka, yaitu berdasarkan peraturan / perundang – undangan yang dibuat dibuat oleh Direktorat Jenderal HAKI, Departemen Kehakiman. Kita sebagai orang baru yang ingin memberikan nama ke produk kita, harus diajukan kepada Departemen Kehakiman agar tidak terjadi kesamaaan antar merek barang lainnya.

Sumber : www.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar